Karakteristik DIplomasi Abad ke-21


HI adalah ilmu yang telah berkembang sedemikian rupa. Pada mulanya, ilmu HI muncul karena adanya kebutuhan untuk mengerti mengapa negara melakukan perang. Hal-hal apa yang mendasarinya, dll. Dengan kata lain, HI di awal perkembangannya adalah ilmu yang hanya berbicara tentang negara dan perang. Kemudian dunia pun terus berputar. Teknologi berkembang, manusia pun berkembang. Kini dunia internasional bukan lagi sebuah panggung yang hanya dapat dimainkan oleh aktor bernama negara saja. Organisasi internasional, perusahaan transnasional, bahkan individu, kini dapat turut bermain di panggung besar ini. Hal ini tentu memicu berbagai fenomena dan isu-isu baru yang tidak melulu berupa perang. Oleh sebab itu, kajian HI pun harus turut berkembang dan menyesuaikan. Maka terjadilah pergeseran kajian HI hingga menjadi HI yang kita pelajari saat ini. 

Secara umum, pergeseran tersebut terjadi dari isu National Security menjadi Human Security, seperti Isu Global Warming, kejahatan transnasional, atau gender. Dengan adanya isu-isu baru tersebut, kita tentu dapat berasumsi bahwa diplomasi yang merupakan instrument suatu negara dalam rangka berhubungan dengan negara lain pun ikut mengalami pergeseran. Saat ini, ketika gagasan untuk berperang sudah tergeser ke nomor entah berapa, setiap negara mulai tersadar bahwa masing-masing memiliki keunggulan yang harus saling melengkapi satu sama lain. Diplomasi pun menjadi sebuah instrumen yang sangat efektif agar setiap negara dapat saling membagi dan mendapat keuntungan mutualistik. Semua ini sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan karakteristik diplomasi konvensional atau tradisional.

Diplomasi konvensional dilakukan pada masa ketika sistem negara bangsa seperti saat ini belum tercipta. Dengan begitu setiap negara dapat mencaplok wilayah negara lainnya dengan mudah tanpa perlu takut pada sebuah hukum atau organisasi internasional. Pada waktu itu aktor internasional hanyalah kerajaan-kerajaan yang saling berhubungan melalui utusan-utusannya. Hanya raja dan para petingginyalah yang dapat memutuskan seperti apa hubungan yang kerajaan tersebut inginkan dengan kerajaan lainnya, sehingga pengambilan keputusan menjadi bersifat sentralistik.

Diplomasi tradisional dilakukan pada masa abad modern Eropa. Pengambilan keputusan masih bersifat sentralistik, namun telah tercipta sebuah sistem negara bangsa yang baik (melalui Perjanjian Westphalia) sehingga tiap-tiap negara tidak dapat seenaknya mencaplok wilayah negara lain. Hanya saja, diplomasi waktu itu hanyalah sebatas instrumen untuk menunda atau menghindari perang. Sebab saat itu hubungan antaraktor internasional hanyalah sebatas perang atau damai, sehingga diplomasi belum dapat berfungsi secara maksimal.

Dengan datangnya Abad ke-21, dibarengi dengan kemajuan teknologi serta pergeseran isu internasional ke arah keamanan manusia, maka semua hal yang dijabarkan di atas tadi ikut berubah. Pengambilan keputusan tidak lagi dapat dilakukan dengan cara sentralistik karena semua hal telah terkena demokratisasi. Aktor-aktor internasional pun tidak lagi terbatas pada negara saja karena semua hal telah terkena globalisasi. Hukum internasional pun menjadi sangat kuat begitu pula dengan organisasi internasional yang menyangganya. Arena diplomasi pun menjadi semakin kompleks karena sekarang peristiwa pembantaian lima puluh orang di suatu daerah terpencil yang jauh dari kemajuan teknologi pun dapat menjadi perhatian dunia internasional. Inilah dunia baru, sebuah dunia yang tidak akan mengizinkan kejahatan sekecil apapun terjadi pada seorangpun manusia.

Dengan mengetahui semua fakta itu, diplomasi yang merupakan instrumen negara kini telah menjadi milik rakyat seutuhnya. Apa yang diinginkan rakyat akan menjadi sebuah amunisi bagi seorang diplomat untuk melakukan tugasnya. Jika rakyat menginginkan Joseph Kony untuk segera ditangkap, maka pemerintah pun wajib melakukannya. Inilah yang disebut dengan diplomasi demokratis.

Selain itu, karena rakyat kini adalah pemilik sah dari segala aspek yang dimiliki negara, maka negara lain pun ketika akan melakukan sebuah diplomasi tidak boleh sebatas berdiplomasi dengan elitisnya saja. Rakyat pun harus menjadi sasaran bahkan sasaran utama dari sebuah diplomasi. Maka mulailah tren sebuah kedutaan yang melakukan acara yang dapat diikuti oleh khalayak luas, seperti Erasmus yang mengadakan festival film Eropa, kemudian Goethe-Institute yang membuat sebuah lembaga pendidikan, atau kedutaan AS yang tiba-tiba datang ke Shopping Mall dan membagikan sleebaran tentang isu internasional. Inilah yang disebut dengan Public Diplomacy.

Semua itu dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya masalah-masalah yang dialami ketika melakukan diplomasi tradisional. Contoh yang paling kentara adalah ketika AS melakukan diplomasi dengan petinggi-petinggi Iran. Pada waktu itu, penerintah Iran setuju untuk berkoalisi dengan AS dalam rangka mengusir pengaruh komunis dari negaranya. Namun yang terjadi adalah rakyat tidak setuju dan terjadilah kasus penyanderaan diplomat AS di Iran. Hal ini jelas membuat pemerintah AS kelimpungan. Mereka tidak tahu bahwa rakyat di Iran memiliki pandangan politik yang berbeda dengan pemerintahnya.

Itulah sekilas tentang diplomasi di Abad ke-21. Masa ketika setiap orang berhak untuk membentuk sejarah dunia. Hal ini bukanlah sekedar isapan jempol, sebab teknologi saat ini memang mendukung untuk melakukannya. Facebook yang diciptakan di awal abad ke-21 kini telah menjadi sebuah kekuatan sebesar 1 Milyar manusia. Itu jelas jauh lebih besar dari AS dan mereka saling terhubung dan dapat bertukar pikiran. Apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka putuskan, apa yang mereka sepakati, tentu akan mempengaruhi kelangsungan dunia ini. Jadi jangan pernah remehkan kekuatan seorang manusia lagi. Walaupun sendiri, kita dapat membuat sebuah perubahan besar. Pertanyaannya hanyalah, apakah kita mau melakukannya? 

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Arab dan pengaruhnya terhadap Bahasa Indonesia

Organisasi Regional

Memahami Konstruktivisme

Calon dan Kriteria Negara Maju di Kawasan Asia (Kriteria 1: Penerapan Pasar Bebas)

Sejarah dan Praktek Regionalisme Asia Tenggara